Saya tidak tahu bagaimana awal mulanya, tapi sejak akhir tahun 2002, banyak kalangan dengan berbagai alasan meminta saya secara serius mempertimbangkan untuk maju sebagai Calon Presiden Republik Indonesia.
Membayangkan dan meyakinkan diri sebagai Capres, apalagi Presiden RI tidaklah mudah. Bukankah sejak merdeka 63 tahun lalu, Indonesia --dengan penduduk lk. 230 juta jiwa kini-- baru dipimpin oleh enam orang presiden: Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, Bu Mega, Pak SBY.
Butuh rangkaian diskusi dan dialog dengan banyak sahabat seperjuangan, selain perlu berkali-kali istikharah kepada-Nya sebelum saya --dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim-- memutuskan ikut Konvensi Calon Presiden Partai Golkar tahun 2003; menerima ajakan jadi Cawapres Gus Dur tahun 2004; dan tahun 2009 ini kembali sangat antusias ikut Konvensi Calon Presiden RI 2009-2014 yang diselenggarakan oleh Dewan Integritas Bangsa (DIB).
Jujur saya sampaikan bahwa pada awalnya, jika ditanya apakah saya "ingin" jadi Presiden RI, maka jawaban saya adalah: "saya takut!" Jangankan tampil sebagai Presiden RI, menjadi Ketua RT, kepala desa atau lurah saja bagi saya menakutkan. Bahkan mengurus keluarga dan rumah tangga yang terdiri atas hanya beberapa orang saja bukanlah sesuatu yang mudah. Takut dan khawatir kalau-kalau amanah itu tak sepenuhnya dapat saya tunaikan.
Mengapa demikian? Saya bayangkan betapa menyedihkan dan menakutkan jika ada anggota rumah tangga, ada warga desa atau anggota kelurahan yang memberikan amanah kepada saya untuk berperan melayani, mengurus dan setiap kali menciptakan momentum bagi upaya peningkatan kesejahteraan lahir dan bathin mereka, lalu saya tidak mampu melakukannya secara optimal. Misalnya, ada yang tak bisa makan teratur, tak kebagian air bersih, rumahnya tak layak huni, tak bisa sekolahkan anak, nilai pendapatan merosot terus, kesulitan mengurus sejak KTP hingga izin usaha, sakit tapi tidak bisa berobat, tidak mendapatkan pembiasaan beribadah, dan seterusnya. Belum lagi korban jaringan perdagangan narkoba dan perdagangan manusia, pemerkosaan bahkan pembunuhan TKW, kisruh jemaah haji, dan sebagainya. Ooh... betapa beratnya pertanggung-jawaban saya kepada mereka dan kepada Allah SWT.
Suatu waktu hati saya tergetar, ketika menyadari betapa berat memang tanggungjawab seorang pemimpin. Ketika itu saya memvisualisasi tugas pemimpin sebagai (pada dasarnya) menjalankan amanah Tuhan. Ya, pemimpin dalam kapasitas selaku khalifah untuk "mewakili-Nya" melayani sesama manusia dan membantu "mengurus" beragam ciptaan-Nya di bumi. Tugas pemimpin adalah, (bersama seluruh warganya) mengupayakan agar tiap orang dan tiap keluarga bisa mengoptimalkan aktualisasi potensi anugerah dari Tuhan yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang dalam dirinya, dengan memanfaatkan iptek dan imtaq, untuk mengelola segenap ciptaannya dalam kerangka memenuhi kebutuhan dasar manusia, kelangsungan sejarah dan keluhuran peradaban, kelestarian alam, agar kita pada hari ini dan generasi yang akan datang tak hanya bertaraf hidup dan berkualitas hidup makin layak, tetapi juga makin terhormat dan makin piawai bersyukur pada Tuhan YME.
Saya kemudian teringat (terilhami) bahwa hampir semua pemimpin pilihan (para nabi dan rasul) rata-rata di usia sebelum kerasulan ditempa sebagai penggembala ternak. Tampaknya itulah antara lain proses untuk melatih kepekaan mereka dalam mengurus, melayani, dan melakoni amanah yang diberikan kepada mereka. Saya tiba-tiba menitikkan air mata, ketika membayangkan bagaimana seseorang yang menggembalakan beberapa ratus ekor kambing, domba dan sapi saja harus melakukannya dengan penuh tanggung jawab. Dia tak boleh membiarkan gembalaannya kelaparan, kehujanan dan tak dapat tempat berteduh. Dia tak boleh membiarkan sebagian gembalaannya mendapatkan terlalu banyak makanan, sementara yang lain kelaparan, atau membiarkan gembalaan saling tanduk. Dan tentu, dia tak boleh pilih kasih dalam segala bentuknya. Merinding saya membayangkan tugas memimpin dan mengurus jutaan manusia, dengan variasi dan tingkat kebutuhan yang demikian jamak. Belum kerumitan dalam hal hubungan-hubungan internasional, tak terkecuali dalam kerangka B-to-B maupun G-to-G itu sendiri.
Kak Ibrahim Taju, suami sekaligus mentor dan editor saya, seperti biasa ternyata membaca kegundahan saya. Beliau berkata begini: "Memimpin satu manusia atau memimpin semua manusia di mata Tuhan sama beratnya dan sama mulianya. Yang penting sebenarnya adalah motivasi dan bagaimana kita melakukannya: niat kita, ketulusan kita, kasih sayang kita, cinta kita, apakah untuk pamrih atau dedikasi semata karena dan untuk Allah. Menolong seseorang sama dengan menolong semua." Jadi hakekatnya, mengambil tanggungjawab memimpin atau mengurus satu orang harusnya sama nilai amanahnya dengan memimpin 230 juta atau bahkan 6,5 milyar manusia." Perhatikan firman-Nya: "...barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya......(QS 5:32).
Yang patut kita takutkan adalah kalau kita diciptakan dengan "tugas" mengurus satu orang atau satu desa, lalu kita ingin memimpin satu provinsi atau satu negara. Sama besar kesalahannya jika kita diciptakan dengan kapasitas dan "garis takdir" untuk memimpin satu negara, tapi memilih dan memutuskan hanya mau mengurus satu desa, satu keluarga, atau hanya mau mengurus diri sendiri.
Jadi sesungguhnya, kita tidak boleh takut menjadi Presiden atau menjadi apa saja, dan tidak boleh takut tidak menjadi Presiden. Kita hanya boleh takut ketika kita kembali kepangkuan Ilahi dan kita lalai menjalankan tugas takdir kita (seperti takutnya siswa ke sekolah karena tak mengerjakan PR).
Ketakutan memimpin umat ternyata sifatnya sangat manusiawi. Bahkan Nabi Musa dan saudaranya Nabi Harun merasa khawatir, padahal mereka sudah diyakinkan sebagai pilihan Tuhan. "Dan aku telah memilih engkau, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu)," ( QS 20:13). "Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku," (QS 20:41). "Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat," (QS 20:46).
Yang perlu kita upayakan adalah agar Allah bersama kita sebelum, selama, dan setelah kita memimpin negara besar kita, Indonesia; bahkan juga "negeri kecil" kita, yakni keluarga kita masing-masing. Amin.
Salam Nusantara Jaya 2045.