03 Januari 2009

PRESIDEN RI: Antara Jabatan dan Kewenangan


Bisa jadi lantaran kian banyak pemimpin perempuan yang muncul di kancah politik dunia, maka saya sering ditanya, apa mau jadi Presiden RI. Ya.... mengikutilah jejak pemimpin perempuan dunia semisal Margaret Thatcher (Inggeris), Indira Gandhi (India), Angela Merkel (Jerman), Macapagal Arroyo (Philipina), Begum Khaleda Zia (Bangladesh), Christina Fernandez (Argentina), Benazir Bhutto (Pakistan), Megawati Soekarnoputri (Indonesia), Michelle Bachelet (Chili), dll.

Pertanyaan umum seperti itu saya olah (jawab) dengan pertanyaan tantangan seperti berikut: "Sdr Marwah, Anda diminta memilih salah satu dari dua pilihan. Pertama, Anda akan kami lantik sebagai Presiden RI pada sebuah upacara megah, disematkan berbagai tanda kehormatan di dada, tinggal di istana, disiapkan pesawat kepresidenan dan mobil antipeluru, disiagakan pengawal khusus, dan setiap hari bertemu dengan para pembesar dan orang-orang terhormat di dunia.

Kedua, Anda akan kami lantik juga sebagai Presiden RI. Namun yang kami siapkan bukan Mercedez Limosin antipeluru dan segala macam itu. Tapi kewenangan, dukungan dan kontrol optimal untuk mewujudkan Visi Nusantara Jaya 2045 (NJ45). Dengan tetap menghormati tatakrama protokoler kenegaraan, saya lalu memerinci apa-apa saja, sih, komitmen visi NJ45? Ini antara lain:
- Terbangunnya karakter dan integritas bangsa, agar setiap orang Indonesia percaya diri dan meyakini bahwa: oleh Tuhan YME, Indonesia ditakdirkan tampil sebagai bangsa besar. Insya Allah atas ikhitiar bersama seluruh rakyat, di tahun 2045, NUSANTARA JAYA di bawah kibaran Merah-Putih, memimpin peradaban bukan hanya di Asia tapi juga di dunia;
- Tercapainya sasaran tahun 2009-2014, yakni setiap anak usia sekolah dapat bersekolah; setiap orang usia kerja dapat bekerja; dan setiap keluarga bisa berpenghasilan minimal Rp 5 juta (setara dengan lk. 25 gram emas) per bulan, setiap keluarga bisa memenuhi kebutuhan dasarnya untuk kesehatan dan gizi, perumahan, investasi dan persiapan pensiun dengan tenang.
-Terwujudnya masyarakat Indonesia yang aman sentosa, adil makmur, sejahtera lahir bathin dengan ber-Ketuhanan YME, berperikemanusiaan, bersatu, berkedaulatan rakyat, dan berkeadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia --sesuai Pancasila dan UUD-45.

Dari pikiran sadar dan lubuk sanubari yang paling dalam, jelas, saya akan memilih opsi yang kedua. Sejak kecil, oleh orang tua saya dilatih untuk lebih memilih peran dibanding sekadar memburu jabatan. Hampir tidak pernah orang tua menanyakan kelak kalau besar saya akan menjadi apa? Yang beliau rajin tekankan adalah keharusan untuk selalu menghasilkan sesuatu yang memberikan manfaat kepada orang lain. Jika perlu, manfaat "sesuatu" tersebut lebih panjang usianya daripada usia hidup kita sendiri.

Itu sebabnya, ketika secara khusus sahabat dan beberapa pihak sejak akhir tahun 2002 meminta saya maju menjadi calon Presiden RI, saya katakan: "Kita bisa berperan penting tanpa harus duduk di posisi formal. "Mahatma Gandhi tidak memegang posisi politik formal; tapi kurang apa pengaruh dan manfaatnya dalam perjalanan politik bangsanya, bahkan bagi peradaban dunia, di banding dengan Nehru yang memegang posisi formal? Contoh lain yang menarik adalah peran penting yang dimainkan oleh Bunda Theresa yang tidak kurang pengaruh, manfaat, daya gerak dan inspirasinya bagi kemanusiaan, dibanding dengan peran formal Margaret Thatcher.

Kembali ke pertanyaan di awal tulisan yang akhir-akhir ini semakin banyak ditanyakan kepada saya. Apakah ibu mau menjadi Presiden RI? Jawaban yang sering saya tawarkan adalah, tampaknya lebih tepat ditanyakan apakah seseorang itu SIAP jadi Presiden RI, baru kemudian ditanyakan apakah dia mau. Ada perbedaan yang sangat mendasar dari kata mau dan siap. Yang lebih mengetahui secara lebih obyektif siap-tidaknya sesorang bukanlah yang bersangkutan, tapi orang lain dengan mencermati, antara lain, rekam jejak (track record) kita di segala lini kepemimpinan.

Contoh sederhananya begini. Kita bisa bertanya kepada seseorang: "Apakah Anda mau jadi pilot?" Anak TK pun akan menjawab "mauuuu." Tentu tak cukup hanya mau, tapi seseorang harus siap jadi pilot. Misalnya, dia sudah ikut pendidikan/latihan jadi pilot, punya pengalaman mendukung, memegang izin (license), terbukti sehat dll -- setelah bukti kesiapan relatif lengkap, barulah pertanyaan "MAU" relevan.

Jadi kalau saya ditanya apakah saya siap dan mau jadi Presiden RI, maka jawaban saya adalah: "Yang saya insya Allah siap dan mau adalah mewujudkan Visi Nusantara Jaya 2045. Bukan hanya siap, tapi sejak saya sadari bahwa bangsa ini adalah bangsa yang berpotensi besar untuk berjaya, saya sudah fokuskan segenap waktu, energi, pikiran, bahkan jiwa raga saya untuk menebar energi positif. Termasuk untuk meyakinkan tiap lawan diskusi bahwa mereka wajib dan berhak untuk bekerjasama mewujudkan kesejahteraan lahir bathin bagi seluruh rakyat di negeri ini.

Nah...kalau ada orang yang lebih tepat dibanding saya menjadi Presiden RI guna mewujudkan visi NJ45, saya akan dukung dia. Jika proses perwujudan NJ45 tersebut bisa lebih efektif kalau saya berada di tengah masyarakat, maka saya insya Allah sangat siap untuk itu. Tapi jika ternyata rakyat, dan oleh Allah SWT yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana, menetapkan (dalam garis taqdir saya) bahwa perwujudan visi NJ45 lebih efektif dengan saya menjadi Presiden, maka saya mohon petunjuk dan bimbingan-Nya. Saya mohon doa dan dukungan dari sahabat sebangsa dan setanah air untuk mewujudkannya.

Kesimpulannya, yang penting bukanlah jabatan tapi pengaruh, bukan posisi tapi kewenangan. Tampil sebagai pemimpin negara seperti Nehru atau Margaret Thatcher, atau terus berada di tengah-tengah rakyat seperti Gandhi dan Bunda Theresa, sama penting dan sama mulianya. Jadi yang utama adalah memiliki gagasan, impian, visi dan keterpanggilan untuk dengan penuh dedikasi, determinasi, ketulusan, rasa cinta dan keyakinan kepada Tuhan lalu mendapat dukungan dari rakyat untuk mewujudkan.

Selamat memasuki tahun Pemilu 2009. Amin!
Salam Nusantara Jaya 2045.

www.marwahdaud.com dan marwahdi@yahoo.com